Kocak

Oleh: Qosim

“Negeri yang katanya the amazing wonderland, memiliki penduduk dengan IQ yang bisa dibilang rendah. Orang di negeri ini gak mau kalah dan gak mau salah.”

Pernahkah kalian mendengar tentang negeri yang memiliki keindahan alam luar biasa? Saking luar biasanya sumber daya alamnya dikelola oleh pihak lain, ajaib bukan? Sebuah negeri yang memiliki banyak sekali julukan, seperti Paru-paru Dunia, Zamrud Khatulistiwa, Seribu Pulau, Seribu Candi, Negeri Wakanda, Konoha, Wkwk Land. Beberapa gunung membentang di sepanjang 5.245 km ikut berpartisipasi menghiasi pesona alam negeri seribu candi ini. Bayangkan saja negara yang diisi ribuan suku dan ras bisa hidup berdampingan dalam keharmonisan. Penduduk yang dikenal ramah turut membuat negeri ini tampak nyaman. Yap! Welcome to my beloved country, the amazing wonderland.

Hai! Namaku Ciko, umurku 24 tahun. Saat ini aku bekerja sebagai pemandu wisata. Yap! Pekerjaan yang selalu menceritakan betapa indahnya amazing wonderland ini kepada para wisatawan asing. Kalian pikir jadi pemandu wisata hanya sekadar memandu? Jangan salah, jika ada orang yang melakukan pencitraan selain orang yang mau mencalonkan diri itulah kami. Menurutku pekerjaan ini memiliki jasa yang luar biasa. Kenapa tidak? Kamilah orang yang menjaga nama baik negeri ini di mata dunia. Betapa hancurnya reputasi negeri Seribu Candi jikalau mereka tahu kelakuan penduduknya yang kocak.

Besok mungkin akan menjadi hari yang melelahkan karena kami akan kedatangan para wisatawan dari Jerman. Apakah kalian tahu waktunya apa sekarang? Yap! Waktunya melakukan pencitraan. Haha bercanda, waktunya menjelaskan betapa indahnya negeri zamrud khatulistiwa. Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa mereka mau berkunjung ke negeri yang kocak ini? Mungkin mereka ingin belajar jadi kocak juga.

“Oi! Ciko! Mau ke mana lo, sini dulu ngapa, gamau ngobrol ama gue dulu?”

Jika ada survei tentang siapa manusia paling sial hari ini, itulah aku. Besok mau kerja malah harus ketemu orang kocak satu ini. Kenalin temen gw namanya Rafli. Beliau ini orangnya kocak banget, gak beda jauh dengan rata-rata penduduk dengan IQ terendah ke-2 di asia tenggara.

“Gak! Ngapain juga gue kesono, semua yang keluar dari mulut lo ga penting tau gak? mending gw ngobrol sama ikan.” Ucapku bercanda.

“Ada berita bagus ini, sambil ngopi kita, jarang-jarang ketemuan gini.” Balas Rafli sambil mengangkat secangkir kopi miliknya.

Aku pun menghampiri Rafli dan memesan kopi. Setelah memesan kopi tak lama kemudian si Rafli menunjukan berita yang dia maksud tadi. “Miris, Karya Anak Bangsa Ditolak di Negeri Sendiri.” Begitulah judul berita yang Rafli tunjukkan.

“Gila ya, capek-capek bikin karya malah dibuang gitu aja, maunya apa sih. Emang ya kalau dah punya jabatan mah bebas, suka ambil gak suka buang.” Ucap Rafli sambil emosi.

“Lah iya, bener juga kata lo, gue juga suka bingung sama yang berwenang, rakyatnya diminta untuk selalu kreatif, giliran udah buat sesuatu malah gak dikasih izin.” Balasku sambil menikmati kopi yang masih panas.

Sepintas aku teringat bahwa salah satu kawanku ada yang mencoba memamerkan lukisannya di sebuah acara pameran. “Eh, lo tau gak? si Amir bikin lukisan tau, keren banget gila.” Kataku sambil menunjukkan lukisan Amir ke Rafli.

“Yaelah, lukisan kayak gini mah jangankan pameran dunia, pameran pinggir jalan juga gak laku ini mah.” Ucap Rafli dengan sifat kocaknya.

“Sama aja lo kocak! Karya orang gak dihargain, temen sendiri lagi, gue balik dulu ya besok ada kerjaan soalnya.” Ucapku sambil melakukan tos persahabatan.

Miris melihat kelakuan Penduduk dengan IQ terendah ke-2 di Asia Tenggara ini. Mereka selalu mengambinghitamkan yang berwenang, seolah-olah yang berwenang memiliki tanggung jawab sepenuhnya terhadap negeri seribu pulau ini. Dikira gampang mengurus seribu pulau, padahal kan penduduk juga melakukan hal yang merugikan mereka sendiri, ah sudahlah mending tidur daripada mikirin orang-orang kocak.

Pagi menyapa matahari pun sudah berani muncul ke permukaan, suara jangkrik tak kalah memeriahkan suasana pagi hari. Aku terbangun dan langsung melihat jam, ternyata jam masih menunjukkan pukul 3 pagi. Yap! Cuma mimpi. Aku pun tertidur kembali mengingat pukul 11 siang harus menjemput wisatawan di bandara.

Waktu menunjukkan pukul 9. Aku dan tim sedang berada di perjalanan menuju bandara. Sembari melakukan perjalanan aku membuka sosial media untuk mencari berita dan aku terkejut melihat berita “135 Nyawa Melayang Saat Menonton Bola.” Orang di negeri kocak ini memang gak mau kalah, saking gak mau kalahnya mereka sampai rela merenggut nyawa sendiri dan menghabisi nyawa orang lain. Beberapa pihak harusnya bertanggung jawab atas hal ini, namun mereka malah saling lempar tanggung jawab kepada pihak lain. Suporter yang menjadi pelaku utama bahkan tidak mau disalahkan, mereka bertindak seolah-olah mereka adalah korban dan menuntut keadilan. Mereka bahkan tidak mau diperiksa oleh pihak yang berwajib. Ini menunjukkan bahwa IQ kita memang masih di bawah rata-rata.

Aku dan tim tiba di bandara dan siap untuk mengawal tamu. Pencitraan apalagi yang akan kita keluarkan, saat sedang memikirkan itu tiba-tiba ada pesan dari atasan. Sebenarnya klien kita sudah membatalkan jasa kita dari kemarin, tapi bos lupa memberi tahu kita. Jelas, raut kesal dan seakan tidak percaya datang dari wajah kami. Dua jam kami habiskan untuk perjalanan dan dibatalkan begitu saja. Sudahlah atasan kami memang salah satu orang kocak di tanah ini.

Ini bukan pertama kali bos melakukan kesalahan seperti ini. Atasan kami adalah orang yang suka menunda pekerjaan. Aku juga gak tahu kenapa dia jadi atasan kami. Orang dalam mungkin.

Aku menuju warung tempat Rafli kemarin berada, dan benar saja Rafli sudah ada di sana sedang meminum kopi. “Oi! Lo dah denger belum Berita semalam?” ucapku sambil memegang bahu Rafli.

“Berita tragedi semalam? Iya yak kenapa bisa begitu yak? Padahal orang nonton bola Cuma buat hiburan belaka.” Jawab Rafli.

“Biasa kelakuan SDM rendah ya begini nih, lo bayangin aja apa-apa yang disalahin pihak yang itu, dan lo tau gak sih sama kayak kasus banjir orang-orang pada ngomong pemerintah gak bener padahal dia sendiri buang sampah ke sungai, kocak banget gak sih?” ucapku kesal melihat perilaku pribumi yang kocak.

“Bener juga kata lo, gue baru kepikiran soal itu, padahal mah soal begituan kalau dari sendiri sadar sudah jadi solusi yak.” Ucap Rafli sang kocak.

yee, kocak lo mah emang kocak, kayak begituan aja baru nyadar sekarang, apa gw jadi pejabat aja ya biar SDM kita bisa meningkat.” Ucapku asal ceplos.

“hahaha, keren cita-cita lo ngab, tapi kebanyakan pejabat dulu ngomongnya model gituan, eh pas di atas malah kelupaan ama tugas.” Ucap orang random yang numpang lewat.

Hidup memang tak ada yang sempurna. Negeri yang memiliki jutaan khasiat alam tetapi memiliki sumber daya manusia yang rendah. Negeri yang katanya the amazing wonderland, memiliki penduduk dengan IQ yang bisa dibilang rendah. Orang di negeri ini gak mau kalah dan gak mau salah. Kocak betul negeri yang satu ini. Oh iya dari tadi aku belum menyebutkan identitas asli negeri ini. Sudahlah buat apa juga tahu tentang negara kocak ini. Salam kocak!

Selepas Hoax Terbitlah Utang

Pengarang: Finecia Shinta

Suatu siang, di SMA Cendekiawan, terdapat 3 sekawan yang sedang menikmati jam istirahat. Tiga sekawan itu menamai diri mereka “Remaja”. Remaja yang dimaksud ialah singkatan nama-nama mereka, yaitu Rere, Malika, dan Jamila. Mereka sudah bersama sejak taman kanak-kanak (TK), sehingga dapat dikatakan bagai 3 saudara.

Entah dari mana datangnya, Rere tiba-tiba melontarkan pernyataan yang berbalut pertanyaan. “Guys, denger-denger Indonesia itu punya utang yang bisa bikin bangkrut negara ya!?” ujar Rere. Dengan sigap, Malika menanggapi ucapan Rere tersebut.

“Hus, Rere! Kamu tau ga? Nyebar hoax itu bisa kena pasal, loh!” ujar Malika.

Malika melanjutkan pidatonya sambil mencari laman di internet tentang hukuman penyebar hoax.

“Dalam Hukum Positif Indonesia, menyebarluaskan berita hoax melalui media sosial termasuk melanggar Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sedangkan bagi penyebar hoax dapat diancam pidana yang berdasarkan Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009!” jelasnya bagai petugas pembaca pembukaan undang-undang dasar 1945.

Tidak tinggal diam, Rere membalas, “Bentar-bentar, deh. Tadi kamu bilang nyebarin di media sosial aja, kan? Kalo kayak mulut ke mulut sama aja, ga, pasalnya?”.

Malika pun bingung ingin menjawab apa. Walau begitu, daripada Rere ngomong terus soal utang Indonesia yang membuatnya pusing, ia berkata, “Sama aja! Kenapa coba? Aku kan bisa rekam suara kamu buat jadi bukti. Terus aku viralin ke media sosial kalo kamu nyebar hoax. Wehehe!”.

Rere tak mau kalah. Dia membalas, “Lah! Berarti kamu yang nyebar, dong? Kan kamu yang bawa rekamannya, terus kamu juga yang share!”.

Malika yang tadinya ingin membuat Rere diam malah kena batunya. “Udah, lah, Re! Ga usah nambah-nambahin bebanku dengan beban negara, deh! Tugas-tugas sekolah aja udah bikin aku pusing! Terus jug…,” balas Malika yang tiba-tiba rencana curhatnya dipotong oleh Jamila.

“Udah deh, Kalian! Bisa diem, ga?! Daritadi bahas utang negara! Janji yang kemarin aja lupa! Bisa-bisa kalian kena pasal juga karena cuma nyebarin janji manis doang!” ucap Jamila yang langsung meninggalkan Malika dan Rere untuk kembali ke kelas.

“Sama aja! Kenapa coba? Aku kan bisa rekam suara kamu buat jadi bukti. Terus aku viralin ke media sosial kalo kamu nyebar hoax. Wehehe!”. Rere tak mau kalah.

Dia membalas, “Lah! Berarti kamu yang nyebar, dong? Kan kamu yang bawa rekamannya, terus kamu juga yang share!”.

Malika yang tadinya ingin membuat Rere diam malah kena batunya.

“Udah, lah, Re! Ga usah nambah-nambahin bebanku dengan beban negara, deh! Tugas-tugas sekolah aja udah bikin aku pusing! Terus jug…,” balas Malika yang tiba-tiba rencana curhatnya dipotong oleh Jamila.

“Udah deh, Kalian! Bisa diem, ga?! Daritadi bahas utang negara! Janji yang kemarin aja lupa! Bisa-bisa kalian kena pasal juga karena cuma nyebarin janji manis doang!” ucap Jamila yang langsung meninggalkan Malika dan Rere untuk kembali ke kelas.

Malika dan Rere pun terdiam dan saling bertatapan. Mereka bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Malika bertanya pada Rere, “Lah, Re. Dia kenapa dah? Kok tiba-tiba sensi gitu?”.

Rere menjawab, “Ga tau. Kamu kali ada janji sama dia kemarin. Tapi-tapi, emang ada, ya, pasal tentang nyebarin janji manis?”.

Dengan raut muka kesal, Malika berkata, “Mulai lagi kekepoan ni anak satu. Nambah-nambahin beban pikiranku aja! Udah, yuk, balik kelas. Bentar lagi pelajaran Bu Maemunah, nih!”.

Rere pun menjawab, “Oh, iya! Ayo, yo, ayo!”. Pada akhirnya, mereka berdua kembali ke kelas, menyusul Jamila.

Sesampainya di kelas, mereka bertiga duduk di tempat masing-masing. Mereka mulai mempersiapkan buku paket dan buku tulis untuk pelajaran Bu Maemunah. Akhirnya 2 jam berlalu dan bel pulang berbunyi. Sambil merapikan tas dan bersiap untuk pulang, Rere menyanyikan sesuatu, “Mana janji manismu..,”. Malika langsung cepat-cepat menyenggol Rere dengan sikutnya. Rere terdiam. Ia memandang Malika yang sedang melihat raut muka tidak enak dari Jamila. Mata Rere pun mengikuti pandangan mata yang mengarah ke Jamila dan seketika ia merasa takut. Dia tidak menyangka bahwa leluconnya ditanggapi serius oleh Jamila. Ia kira nyanyiannya akan membuat Jamila dan Malika tertawa. Akhirnya Rere pun meminta maaf pada Jamila yang duduk tepat di belakang Malika.

“Mil, maafkan aku! Aku ada salah, ya? Beneran, deh. Aku lupa janji kemarin itu yang mana! Eh, Malika. Bantuin napa? Tadi siang, kan, Jamila bilang kita berdua yang punya janji! Ga cuma aku aja!”.

Jamila pun tidak bisa menahan tawanya. Raut mukanya yang tegang akhirnya berubah seketika. Mulutnya bergetar dan mulai tertawa terbahak-bahak.

“Ahahahaha! Aneh banget, deh, mukanya! Lagian dari tadi ngoceh mulu! Aku tuh cuma bercanda doang tapi masa, sih, kalian lupa? Jadi, kan, kalian kemarin lusa beli gorengan sama mi di warung Mbak Siti. Terus, kalian minta aku buat bayarin dulu. Kalian janji bakal bayar secepatnya. Sial banget! Sampai hari ini, tuh, perkataan kalian cuma janji manis doang!”.

Malika dan Rere pun menghela nafas lega. Ternyata Jamila tidak marah.

“Aduh. Lega banget. Aku kira kamu marah beneran, Mil. Kamu kan jarang marah. Malah kayaknya kamu itu ga pernah marah, apalagi ke kita,” ucap Rere.

Malika pun menimpali, “Iya! Bener banget! Yak! Tul! Sip! Jos!”.

Lalu mereka tertawa karena kata-kata Malika yang menirukan Bu Maemunah saat muridnya menjawab jawaban dengan benar. Setelah itu, Rere mulai berbicara lagi.

“Jamila cantiek! Utangnya dianggap lunas aja, ya? Kamu ga marah, kan?” rayu Rere.

Malika seketika ikut menimpali. “Heem, nih. Jamila yang cantiek, perhatian, sholehah, pinter menab.,” puji Malika yang tiba-tiba dipotong Jamila.

“Ga boleh! Utang is utang! Tanggung jawab! Kalian mau aku marah beneran?” tegas Jamila.

Malika dan Rere langsung sigap membalas dan menyerahkan uang yang ada di kantong mereka.

“Iya-iya. Ini uangnya,” ucap Rere terbata.

Jamila akhirnya lega dan menjawab sambil tersenyum,

“Nah! Gitu dong! Makasih, Guys!”.

Mereka akhirnya bergegas pulang ke kontrakan sambil bercanda ria.